Monday, November 26, 2018

MAKALAH PERNIKAHAN YANG TIDAK SAH SECARA SYAR’I


MAKALAH 
PERNIKAHAN YANG TIDAK SAH SECARA SYAR’I
Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
 Fiqih

Dosen :
Husnul Muamalah, M.Pd.I
Oleh :
Bety Suzanah


JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI  PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH BUSTANUL ULUM
LAMPUNG TENGAH
TAHUN 2015

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirrahim
Segala puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas kehendak-Nya kami dapat menyusun makalah ini. Shalawat dan salam semoga tercurah selalu kepada nabi kita Muhammad SAW. Alhamdulllah kami dapat menyusun makalah dengan judul “Pernikahan yang Tidak Sah Secara syar’i” sehingga dengan adanya makalah ini mudah-mudahan mampu menggugah para pembaca untuk mempelajari dan memahami tentang manusia dan permasalahannya. Makalah ini di susun untuk memenuhi salah satu tugas terstuktur dari mata kuliah Fiqih. Maka dengan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen pengampu dan kepada semua pihak yang  ikut serta dan memberi dorongan kepada kami yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Kami menyadari penyusun makalah ini masih jauh dari sempurna, maka sangat mengharapkan kritik dan sarannya. Kami berharap semoga  makalah ini dapat bermanfaat bagi setiap pembaca.
Jayasakti, 16 Maret 2015
Penyusun


BETY SUZANAH
                                                              

DAFTAR ISI
COVER MAKALAH...................................................................... i
KATA PENGANTAR.....................................................................            ii
DAFTAR ISI.................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................            11
A.    Latar Belakang....................................................................... 1
B.     Rumusan Pembahasan........................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................. 3
A.    Pengertian Pernikahan Yang Tidak Sah Secara Syar’i..................3
B.     Klasifikasi Pernikahan Yang Tidak Sah Secara Syar’i............7  
BAB III KESIMPULAN.................................................................      21
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................     22





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebagai umat Islam yang bertaqwa kita tidak akan terlepas dari syari’at Islam. Hukum yang harus di patuhi oleh semua umat Islam di seluruh penjuru dunia. Salah satu dari syari’at Islam adalah tentang pernikahan  hal ini sudah di atur dalam hukum Islam, baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadits Rasulullah SAW. Pernikahan akan mencegah perbuatan yang melanggar norma – norma agama dan menghindari jinah.
Namun di zaman yang modern ini sering kali ditemukan  pernikahan yang tidak sah secara syar’i bahkan sudah dianggap biasa di beberapa kalangan masyarakat. Banyak faktor pendorong yang menyebabkan terjadinya pernikahan yang tidak sah secara syar’i antara lain: faktor sosial, ekomomi, dan agamalah yang sering menjadi pemicu timbulnya pernikahan tersebut. Dari pernikahan ini akan menimbulkan perkara-perkara yaitu pertengkaran dan juga perselisihan setelah pernikahan. Oleh karena itu ada beberapa yang harus diperhatikan dalam pernikahan agar tidak terjerumus dalam pernikahan yang diharamkan dalam islam.
Dengan latar belakang ini penulis akan mencoba memaparkan pernikahan apasajakah yang termasuk kedalam pernikahan yang tidak sah secara syar’i.
B.     Rumusan pembahasan
1.      Apakah yang dimaksud dengan pernikahan yang tidak sah secara syar’i ?
2.      Pernikahan apasajakah yang termasuk pernikahan yang tidak sah secara syar’i ?











BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Pernikahan Yang Tidak Sah Secara Syar’i
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas[1], Pernikahan atau nikah artinya adalah terkumpul dan menyatu. Menurut istilah juga dapat berarti Ijab Qobul (akad nikah) yang menghalalkan perhubungan antara sepasang manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan ke pernikahan, sesusai peraturan yang diwajibkan oleh Islam. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua mahluk Allah, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Semua yang diciptakan oleh Allah adalah berpasang-pasangan dan berjodoh-jodohan, sebagaimana berlaku pada mahluk yang paling sempurna, yakni manusia. Dalam surat Al-Dz’ariya’t ayat 49 disebutkan: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”.
Perkawinan bukan hanya mempersatukan dua pasangan manusia, yakni laki-laki dan perempuan, melainkan mengikatkan tali perjanjian yang suci atas nama Allah bahwa kedua mempelai berniat membangun rumah tangga yang sakinah, tentram, dan dipenuhi oleh rasa cinta dan kasih sayang. Untuk menegakkan cita-cita kehidupan keluarga tersebut, perkawinan tidak cukup hanya bersandar pada ajaran-ajaran Allah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sifatnya global. Akan tetapi, perkawinan berkaitan pula pada hukum suatu negara. Perkawinan baru dinyatakan sah jika menurut hukum Allah dan hukum negara telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
Dalam akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Inilah menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut.
Jadi pernikahan yang tidak sah secara syar’i dapat terjadi apabila  pernikahan-pernikahan tersebut tidak memenuhi rukun dan syarat serta tidak sesuai dengan           hukum dalam pernikahan.
1. Hukum pernikahan adalah sebagai berikut:
-     Wajib kepada orang yang dilihat dari pertumbuhan jasmaninya sudah layak untuk menikah, kedewasaan rohaninya sudah matang dan memiliki biaya untuk menikah serta untuk menghidupi keluarganya dan apabila ia tidak menikah di khawatir terjatuh pada perbuatan mesum atau zina, maka menikahnya wajib
-     Sunat kepada orang yang mampu tetapi dapat mengawal nafsunya.
-     Makruh kepada orang yang dipandang dari pertumbuhan jasmaninya sudah layak untuk menikah kedewasaan rohaninya sudah matang tetapi ia tidak mempunyai biaya untuk bekal hidup beserta istri dan anaknya ia makruh untuk menikah dan ia dianjurkan untuk mengendalikan nafsunya melalui puasa. Ia lebih baik untuk tidak menikah dahulu, karena menikah baginya akan membawa kesengsaraan bagi istri dan anaknya.
-     Haram kepada orang yang menikahi wanita dengan maksud menyakiti, mempermainkan, memeras harta, dan tidak berkemampuan untuk memberikan nafkah batin dan lahir,  ia sendiri tidak berkuasa (lemah), dan tidak punya keinginan.
-     Mubah kepada orang yang tidak terdesak oleh hal-hal yang mengahruskan segera nikah atau yang mengharamkannya.
2.         Rukun dan syarat pernikahan adalah sebagai berikut :
a)     Calon suami
syarat calon suami :
-        Beragama Islam
-        Terang prianya (bukan banci)
-        Tidak dipaksa
-        Tidak beristri empat orang
-        Bukan Mahram bakal istri
-        Tidak mempunyai istri dalam yang haram dimadu dengan bakal isteri
-        Mengetahui bakal istri tidak haram dinikahinya
-        Tidak sedang dalam ihram atau umrah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لاَ يُنْكِحُ الْـمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ “Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim)
b)    Calon Istri
syarat calon istri :
-        Beragama Islam
-        Terang wanitanya (bukan banci)
-        Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya
-        Tidak bersuami dan tidak dalam iddah
-        Bukan mahram bakal suami
-        Belum pernah dili'an ( sumpah li'an) oleh bakal suami.
-        Terang orangnya
-        Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah
c)     Ijab Qabul
Syarat Ijab :
-        Pernikahan nikah hendaklah tepat.
-        Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran.
-        Diucapkan oleh wali atau wakilnya.
-        Tidak diikatkan dalam waktu tempoh, seperti  muta’ah.
-        Tidak secara taklik (tiada sebutan prasyarat sewaktu Ijab dilafazkan). Contoh bacaan Ijab: wali/wakil, wali berkata kepada calon suami “Aku nikahkan/kawinkan engkau dengan Delia binti Munif dengan  mas kawinnya/bayaran perkawinannya sebanyak Rp 300.000 tunai”.
Syarat Qabul :
-          Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan Ijab.
-          Tiada perkataan sindiran.
-          Dilafazkan oleh calon suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu).
-          Tidak diikatkan dengan tempoh waktu seperti muta’ah (nikah kontrak).
-          Tidak secara taklik (tiada sebutan prasyarat sewaktu qabul dilafazkan ).
-          Menyebut nama calon istri.
-            Tidak diselingi dengan perkataan lain.Contoh sebutan qabul (akan dilafazkan oleh calon suami): “Aku terima      nikah/perkawinanku dengan Delia binti Munif dengan mas kawinnya/bayaran perkawinnanya sebanyak Rp 300.000 tunai” atau “ Aku terima Delia binti Munif sebagai istriku”.
d)    Wali
Syarat wali :
-        Beragama Islam
-        Baligh
-        Berakal
-        Tidak dipaksa
-        Terang lelakinya
-        Adil ( bukan fasik )
-        Tidak sedang ihram haji atau umrah
-        Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah (mahjur bissafah)
-        Tidak rusak pikirannya karena tua atau sebagainya.
e)        Dua orang saksi
Syarat saksi :
-          Islam.
-          Sekurang-kurangnya dua orang.
-          Berakal dan baligh.
-          laki-laki.
-          Memahami kandungan lafaz ijab dan qabul.
-          Bisa mendengar, melihat dan berbicara.
-          Merdeka.
-          Adil
B.     Klasifikasi Pernikahan  Yang Tidak Sah Secara Syar’i[2]
1.        Nikah Syighar
Yaitu seseorang menikah anak perempuannya, saudara perempuan atau budak perempuannya, dengan syarat orang lain menikahinya dengan anak perempuannya, saudara perempuannya atau budak perempuannya, baik diantara keduanya disertai mahar maupun tidak, menurut pendapat yang paling shahih.
Para ulama telah sepakat tentang haramnya nikah syighar, dan mereka berbeda pendapat tentang keabsahannya. Jumhur ulama berpendapat bahwa nikah ini tidak sah[3], berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
1.      Hadits Jabir ra, ia berkata,“Nabi Saw melarang nikah syighar.”[4]
2.        Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Nabi Saw melarang menikah syighar.” Abu Hurairah mengatakan, nikah syighar ialah seseorang berkata kepada orang lain, “Nikahkanlah aku dehngan putrimu, niscaya aku akan menikahkanmu dengan dengan putriku.” atau “Nikahkan aku dengan saudara perempuanmu, niscaya aku akan menikahkanmu dengan saudara perempuanku.”[5]
3.        Diriwayatkan dari Al-‘Araj bahwa al-Abbas bin Abdullah bin Abbas menikahkan Abdurrahman bin al-Hakam dengan putrinya, sementara Abdurrahim menikahkannya dengan putrinya. Dan keduanya menetapkan mahar dalam pernikahan tersebut. Maka, Mu’awiyah ra menulis surat kepada marwan yang memerintahan kepadanya untuk memisahkan diantara keduanya. Dalam surat itu Mu’awiyah mengatakan, “Inilah syighar yang dilarang oleh Rasulullah Saw.[6]
4.        Sabda Nabi Saw :
“Barangsiapa menentukan suatu syarat yang tidak terdapat dalam kitabullah, maka syarat itu batal, walaupun ia menetapkan seratus syarat. Syarat Allah lebih benar dan lebih kuat.[7]
5.         Kemudian syarat tukar ini adalah penyebab batalnya pernikahan, karena berisikan kerusakan yang sangat besar. Sebab, hal ini dapat mendorong kepada pemaksaan terhadap wanita untuk menikah dengan orang yang tidak disukainya karena lebih ementingkan kemaslahatan wali-walinya daripada kemaslahatan wanita itu sendiri. Ini adalah bentuk kezhaliman terhadap mereka. Alasan lainnya, ini dapat menyebabkaan terhalangnya wanita untuk mendapatkan mahar yang sewajarnya, sebagaimana fakta yang di temukan pada orang-orang yang melakukan akad munkar ini.
  Demikian juga perkara-perkara yang ditimbulkan dari pernikahan ini, yaitu pertengkaran dan perselisihan setelah menikah. Ini merupakan hukuman duniawi yang ditimpakan pada orang-orang yang menyelisihi syariat Allah Swt.[8] 
2.        Nikah al-Muhallil
Yaitu seorang laki-laki menikahi wanita yang telah ditalak tiga, kemudian ia mentalaknya agar wanita tersebut halal bagi suaminya yang pertama. (pelakunya disebut  muhalil dan orang yang meminta melakukan hal itu disebut muhallal lahu-ed).
Ini termasuk dosa besar yang diharamkan Allah Swt, serta pelakunya dan orang yang meminta hal itu dilakukan untuknya dilaknat oleh-Nya:
1.        Diriwayatkan dari Abu Mas’ud ra, ia berkata,”Rasulullah Saw melaknat al-muhallil dan al-muhallal lahu.”[9]
2.        Mayoritas ulama, diantaranya Imam Malik, as-Syifi’i dalam satu pendapat, Ahmad al-Laits, ats-tsauri, Ibnu al-Mubarak dan selainya berpendapat bahwatahlil adalah tidak sah. Ini juga pendapat Umar bin al-Khathab dan putranya, Abdullah, serta Utsman bin ‘Affan dari kalangan sahabat ra.[10]
Diriwayatkan dari Umar bin alaKhathab ra, ia berkata, “tidaklah didatangkan kepadaku muhallil dan muhallah (wanita yang dinikahinya agar halal untuk suaminya yang pertama), melainkan aku pasti merajam keduanya.[11]
Ibnu Umar ra ditanya tentang tahlil yang dilakukan seorang wanita untuk bisa kembali kepada suaminya yang pertama, maka dia menjawab, “Ituadalah perzinahan.”[12]
Sama saja dalam hal ini, baik disyariatkan kepadanya supaya mentalak wanita itu agar dia menjadi halal bagi suaminya yang pertama maupun tidak di syariatkan tetapi ia meniatkan untuk menjadikan wanita tersebut halal bagi suaminya yang pertama, maka nikahnya tetap batal.
3.        Diriwayatkan dari Naafi’, ia berkata.”seorang laki-laki datang menemui Ibnu Umar ra lalu bertanya tentang seorang laki-laki yang mentalak istrinya dengan talak tiga, lalu seorang saudara laki-lakinya menikshi wanita itu tanpa ada konspirasi darinya dengan tujuan untuk menjadikan wanita itu halal kembali untuk saudaranya, apakah wanita itu halal bagi suami yang pertama?’ Maka Ibnu Umar berkata, ‘Tidak, kecuali nikah atas dasar suka sama suka.
Kami dahulu menganggap ini sebagai perzinahan pada masa RasulallahSaw.”[13] Abu Hanifah dan asy-Syafi’i dalam pendapatnya yang kedua dan ini pendapat yang mashur baginya berpendapat bahwa nikahnya sah tetapi syaratnya batal.[14] Namun, pendapat ini tidak memiliki dalil, dan yang shahih ini adalah pernikahan yang tidak sah.
Faidah : Yang menjadi pertimbangan mengenai batalnya pernikahan tersebut adalah niat suami yang kedua (muhallil). Sebab, ia tidak terlepas dari dua keadaan: 
1.      Ia berniat menikahi wanita itu kemudian menceraikannya agar menjadi halal untuk suaminya yang pertama, baik itu di syariatkan kepadanya maupun tidak, maka nikahnya batal saat itu, dan ia menjadi orang yang terlaknat.
2.      Disyaratkan kepadanya, sebelum akad pernikahan, agar menikahi wanita itu supaya menjadi halal untuk suaminya yang pertama (tahlil). Namun, ia sengaja menikah karena keinginan. Pernikahan ini sah, karena tidak ada niat tahlil berikut syariatnya.[15]
Yang Menjadi Pertimbangan Bukanlah Niat Suaminya yang Pertama atau Wanita itu Sendiri
Karena suami yang pertama tidak memiliki kuasa sedikitpun berkenaan dengan akad itu, dan tidak pula punya kuasa untuk membatalkannya. Ia terhitung sebagai orang asing, seperti yang lainnya.
Demikian juga si wanita, karena mentalak ataau mempertahankannya adalah urusan suami yang kedua, bukan urusan si wanita. Diantara yang menguatkan hal ini bahwa istri Ri’faah al-Qarzhi datang kepada Rasulullah Saw seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Ra’faah telah mentalakku dengan talak tiga. Kemudian sesudahnya, aku menikah dengan Abdurrahman bin az-Zubair al-Qarzhi. Namun ia tidak ubahnya seperti ujung kain yang terkulai.” Mendengar hal iti Nabi Saw berkata, “Mungkin ingin kembali kepada Ri’faah? Tidak bisa, hingga Abdurrahman mencicipi madumu dan engkau mencicipi madunya.”[16] Yakni, ia menyetubuhimu. Niat wanita tersebut tidak menjadi pertimbangan sedikitpun.
3.      Nikah mut’ah
Yaitu seorang laki-laki menikahi wanita sampai batas waktu tertentu. Seperti satu hari, dua hari atau lebih dengan suatu imbalan yang diberikannya kepada wanita tersebut berupa harta atau sejenisnya.
Pada awalnya nikah ini halal pada masa Rasulullah Saw, kemudian Allah SWT menghapusnya lewat lisan Rasul-Nya. Allah mengharamkannya dengan pengharaman yang berlaku untuk selama-lamanya hingga Hari Kiamat. Inilah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama dari kalangan sahabat dan generasi sesudahnya dari kalangan imam yang empat dan selainnya.[17]
Hadts-hadits berselisih tentang penghapusan hukum nikah mut’ah ini, dan yang shahih diantaranya:[18]


a.      Nikah mut’ah dihapus pada saat perang Khaibar
Dari Ali bin Thalib ra, ia berkata kepada Ibnu Abbas ra, “Sesungguhnya Nabi Saw telah melarang dari menikah mut’ah dan makan daging keledai piaraan pada masa peperangan Khaibar.[19]
Kemudian Rasulullah Saw memberikan keringanan untuk melakukan nikah mut’ah setelah itu, namun informasi mengenai dispensasi tersebut tidak sampai kepada Ali. Oleh karena itu, ia membangun pendapatnya berdasarkan apa yang didengarnya dari Rasulullah Saw berupa hadits tentang pengharaman nikah mut’ah pada saat perang Khaibar, dan juga berdasarkan perkara yang diyakini keharamannya itu.[20]
b.      Dihapuskan pada saat penaklukan kota Makkah
Diriwayatkan dari arRabi’ bin Sabrah bahwa ayahnya berperang bersama Nabi Saw pada penaklukan kota Makkah. Ayahnya menuturkan, a’aKami bermukim disana selama lima belas hari (tiga puluh antara siang dan malam), dan Nabi mengizinkan kami untuk melakukan nikah mut’ah... Kemudian aku pun melakukan menikah mut’ah dengan seorang gadis. Dan aku belum keluar kota Makkah hingga Nabi mengharamkannya.[21] Dalam suatu redaksi: “Mereka bersama kami (yaitu wanita-wanita yang kami nikahi dengan nikah mut’ah) selama tiga hari, lalu Nabi memerintshsnnya untuk menceraikan meraka.”[22]
Dalam redaksi lain, “Rasulullah Saw memerintahkan kami untuk menaklukkan kota Makkah, ketika kami masuk kota itu. Kemudian, sebelum keluar dari kota Makkah, beliau melarang kami melakukan pernikahan tersebut.”[23]
c.       Dihapus pada saat perang Authas
Diriwayatkan dari Salamah bin al-Akwa’, ia berkata. ”Rasulullah Saw memberikan keringanan pada saat perang Authas untuk melakukan nikah mut’ah selama tiga hari, kemudian beliau melarangnya.”[24] Lalu pengharaman ini berlaku selama-lamanya hingga Hari Kiamat.
Catatan Penting:
Pertama, diriwayatkan secara shahih dari Jabir bin aAbdullah bahwa ia berkata,” Dahulu kami melakukan nikah mut’ah dengan imbalan satu genggam kurma atau tepung gandum untuk beberapa hari pada masa Rasulullah Saw dan Abu Bakar hingga Umar melarangnya perihal kasus ‘Amr bin Harist.”[25]
Ini mengandung kemungkinan, orang-orang yang melakukan nikah mut’ah pada masa Abu Bakar dan Umar ra itu belum mendengartentang penghapusan dan pengharaman nikah mut’ah tersebut.[26]
Kedua, disebutkan dari Ibnu Abbas ra, ia berpendapat tentamg bolehnya menikah mut’ah karena darurat. Diriwayatkan dariAbu Jamrah, maka ia memberikan keringanan. Maula (mantan budak) Ibnu Abbas berkata kepadanya, Apakah itu hanya dibolehkan dalam kondisi sulit dan jumlah wanita cuma sedikit, atau sejenisnya?” Ibnu Abbas menjawab, “Ya.”[27]
Ini merupakan salah satu pendapat yang ganjil dari Ibnu Abbas, dan ia mendapat pahala atas ijtihatnya itu, Insya Allah. Adapun kita mengikuti riwayat yang sampai kepada kita dari syar’i berupa pengharaman nikah mut’ah untuk selama-lamanya. Pendapat Ibnu Abbas yang menyelisihi mayoritas sahabat tidak merusak hujjah pengharaman nikah mut’ah ini. Tidak ada alasan bagi kita untuk mengamalkannya.
Barangsiapa Melakukan nikah mut’ah, Tindakan Apa yang Harus Dilakukan Terhadapnya?
Telah dikemukakan bahwa nikah mut’ah adalah tidak sah, maka wajib diceraikan diantara keduanya. Karena Rasulullah Saw telah memerintahkan siapa yang melakukan nikah mut’ah dengan seorang wanita agar menceraikannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits Sabrah.
Apa Hukum Orang yang Menikahi Seorang Wanita, Sementara Ia Berniat akan Mentalaknya setelah Beberapa Waktu?
Ini banyak dilakukan oleh orang-orang yang berpergian keluar negeri. Mereka menikah, namun mereka berniat akan menceraikan istri mereka ketika hendak kembali kenegeri asal mereka.
Nikah ini sah, menurut mayoritas ulama, jika iya menikahinya dengan tanpa syarat. Tapi, ia brniat menceraikannya setelah beberapa waktu menurut mereka, karena adakalanya ia meniatkan sesuatu namun tidak melaksanakan niatnya itu. Adakalanya iya tidak meniatkan sesuatu tapi ternyata ia melakukannya, sehingga hal itu terjadi tanpa diniatkan.[28] Dalam hal ini, al-Auza’i menyelisihinya seraya mengatakan bahwa ini adalah nikah mut’ah. Inilah pendapat yang dipilih oleh al-‘Allamah Syaikh Ibnu Utsaimin.[29]
Penulis berkata: Semoga mendapat al-Auza’i inilah yang lebih terarah, dan hal ini dikuatkan oleh jawaban Ibnu Umar kepada orang yang bertanya kepadanya tentang seorang laki-laki yang menikahi istri saudara laki-lakinya yang telah ditalak tiga agar wanita tersebut halal bagi saudara laki-lakinya tersebut. Ia menjawab, “Tidak boleh, kecuali menikah dengan keinginan. Dahulu kami menganggapnya sebagai perzinaan pada masa Rasulullah Saw.”
Ditambah lagi, jenis pernikahan seperti ini mengandung unsur penipuan, menimbulkan permusuhan dan kebencian, menghilangkan rasa saling percaya di antara Muslimin, mengumbar nafsu ke sana ke mari untuk melampiaskan syahwatnya, dan berbagai efek yang ditimbulkannya berupa kebejatan dan kemungkaran. Jadi, pernikahan jenis ini lebih pantas untuk dibatalkan dari pada akad nikah mut’ah yang di syaratkan batas waktunya atas kerelaan diantars laki-laki dengan wanita itu berikut walinya.
Kemudian di sana ada satu perkara lagi yaitu: Apakah suami memiliki hak untuk menceraikan istrinya dengan tanpa suatu sebab? Pada asalnya talak itu dilarang;karena itu berarti memutuskan ikatan pernikahan yang bertalian dengan kemaslahatan duniawi, dan perceraian dibolehkan karena butuh terbebas darinya.”[30]
4.      Nikah al-Urfi[31]
Yang dimaksud dengan nikah ‘urfi, ialah fenomena yang berkembang ditengah-tengah pemuda pada masa sekarang ini, dimana seorang laki-laki menjalin hubungan dengan seorang wanita misalnya, teman wanitanya dikampus dan tidak ada seorang pun yang mengetahui hubungan mereka itu. Atau mungkin diketahui oleh teman-temannya yang mengetahui jalinan asmaranya yang tidak syar’i. Lalu ia pergi bersama wanita itu kerumah temannya, misalnya, lalu melakukan hubungan intim dengannya. Lalu wanita itu kembali kerumah ayahnya yang selama ini membiayainya. Akad yang terjadi diantara keduanya tidak lebih dari secarik kertas yang berisi kesepakatan diantara keduanya. Terkadang disertai persaksian oleh orang-orang fasik itu.
Akad seperti ini adalah batal, bahkan ini pada hakikatnya adalah zina, wal’iyadzubillah. Karena telah hilang salah satu syarat pernikahan, yang dengan tanpa syarat itu dinilai tidak sah, yaitu mendapat izin dari wali si wanita. Dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah menunjukkan tentang disyariatkannya wali dalam pernikahan yang sah. Inilah prinsip yang dipegang oleh jumhur ulama. Jika sudah terbukti tentang batalnya pernikahan seperti ini, maka wajib dibatalkan untuk selama-lamanya, walaupun sudah berlangsung dalam waktu yang lama setelah bercampur dengan wanita itu.














BAB III
KESIMPULAN
A.      Kesimpulan
Pernikahan atau nikah artinya adalah terkumpul dan menyatu. Menurut istilah lain juga dapat berarti Ijab Qobul (akad nikah) yang menghalalkan perhubungan antara sepasang manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan ke pernikahan, sesusai peraturan yang diwajibkan oleh Islam.
Pernikahan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua mahluk Allah, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Semua yang diciptakan oleh Allah adalah berpasang-pasangan dan berjodoh-jodohan, sebagaimana berlaku pada mahluk yang paling sempurna, yakni manusia. Ditinjau dari kondisi hukum pernikahan dapat berubah menjadi sunah, wajib, makkruh atau haram. Rukun, syarat dan hukum pernikahan harus terpenuhi dan tidak boleh tertinggal. Karena dari rukun, syarat dan hukum pernikahanlah yang menentukan sah atau tidaknya pernikahan. Macam-macam pernikahan yang tidak sah secara syar’i antara lain : nikah syighar, nikah al-muhallil, nikah mutah dan nikah al-‘urfi.



DAFTAR  PUSTAKA
Abu Malik Kamal Bi As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah. (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006)
http://miftachr.blog.uns.ac.id/2010/04/pengertian-munakahat-pernikahan



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan

[2] Fasid dan bathil adalah dua kata sinonim dalam istilah jumhur fuqaha’ kecuali pada masalah menikah. Mereka mengatakan, nikah bathil adalah menikah yang telah disepakati oleh umat atas kebathilannya. Pernikahan ini pada dasarnya tidak sah, dan tidak diakui oleh syariat. Untuk memisahkannya tidak perlu talak, dan tidak ada pengaruh yang ditimbulkannya, kecuali yang terjai karena syubhat. Adapun nikah nikah fasid ialah yang di perselisihkankerusakannya, dan harus dipisah dengan talak, dan harus dipisahkan dengan talak, serta menimbulkan beberapa pengaruh.
[3] Fath al-Bari (163-9)
[4] Shahih, diriwayatkanoleh muslim (1417)
[5] Shahih, diriwayatkan oleh muslim (1416), dan an-nasa’i (112/6), dan Ibnu Majah (1884)
[6] Hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud (2075)
[7] Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (2155) dan Muslim (1504)
[8] Diambil dari risalah al-Allamah Ibnu Baz v dalam Nikah Syighar
[9] Shahih, diriwayatkan oleh at-Tirmizi (1120), an-Nisa’i (149/6), Ahmad (448/1), dan selainnya. Muhallil ini juga disebut at-Tais l-Musta’ir (pengantin yang disewa) dalam riwayat Ibnu Majah (1936), namun tidah shahih
9   Bidayah al-Mujtahid (102/2), al-Mughni (645/6), Nihayah al-Muhtaj (282/7), al-Muhalla (108/10) Sunan at-Tirmizi (420/3), dan Raudhahah ath-Thalibin(126/7)
10  Sanadnya shahih, diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (265/6) dan Sa’id bin Mashur(1992)
11 Sanadnya shahih, diriwayatkan oeh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (10776)
12 Shahih diriwayatkan oleh al-Hakim (199/2), al-Baihaqi (208/7)

[14] Ibnu ‘Abidin (411/3), Raudhah ath-Thalibin (126/7)
[15] Al-Mughni, tulisan Ibnu Qudamah (648/6)
[16] Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (2639), dan Muslim (1433)
[17] Al- Mudawanah (196/2), Biyah al-Mujtahit (101/2), Nihayah al-Muhtaj (71/5), al-Matshul (152/5), al-Mughni (644/6), al-Inshaf (163/8), at-Tamhid (121/10), Syarh
[18] Lihat riwayah-riwayah ini dalam jami’ Ahkam an-Nisa’ (177/3 dan sesudahnya)
[19] Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (5115), dan Muslim (1407)
[20] Fath al-Bari (168/9)
[21] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (1406)
[22] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (1406) dan al-Baihaqi (202/7)
[23] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (1406)
[24] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (1405), al-Baihaqi (204/7), dan Ibnu Hibbah (4151)
[25] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (1405), Abu Daud ( 2110)
[26] Syarh Ma’ani al-Atsar (III/27) , dan Syarh  Muslim (III/555)
[27] Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (5116), ath-Thahawi (III/26), al-Baihaqi (VII/204)
[28] Al-Mughni (VI/644), al-Umm (V/70), dan kitabku, Fiqih as-Sunnah li an-Nisa’ (hal 376)
[29] Al-aiastidzkar (XXVI/301), Ahkam Ta’addud, karya al-Ihsan al-Utaibi (hal 26)
[30] Syarh Fath al-Qadir, karya Ibnu Humam (III/78), dan al-Insyaf (429/8)
[31] az-Zawaj al-‘Urfi al-Bathi, karya Syaikh Usamah al-Baththahah Hafizhahullah.


No comments:

Post a Comment

TUGAS KEWIRAUSAHAAN