KUMPULAN MAKALAH KULIAHKUU ^_^
Monday, September 30, 2019
TUGAS KEWIRAUSAHAAN
Bety suzanah
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah "STIT Bustanul 'Ulum"
Jayasakti Anak Tuha .Lampung Tengah
Tuesday, September 24, 2019
HUKUM GAMBAR ( TASHWIR )
MAKALAH
HUKUM GAMBAR ( TASHWIR )
Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Perbandingan Mahzab
Dosen:
Ariarkanuddin,
M. S. I
Disusun Oleh :
1. Rohman Musthofa
2. Bety Suzanah
3. Suwarti
( SEMESTER V A )
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH BUSTANUL ULUM
LAMPUNG TENGAH
TAHUN 2017
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Gambar
Masalah
gambar (tashwir),
baik itu hasil lukisan atau fotografer, ulama saling berbeda pendapat. Ada
sebagian ulama yang mengharamkan semua jenis gambar, baik itu lukisan,
kartun, foto atau film. Bagi mereka, apapun yang berbau gambar, lepas dari apa
tujuan, madharat, manfaat dan fungsinya, hukumnya haram dan pelakunya masuk
neraka. Namun kelompok ulama yang seperti ini berhadapan dengan para ulama lain
yang lebih moderat. Mereka tidak menelan mentah-mentah begitu saja hadits-hadit
yang terkait dengan haramnya gambar, setidaknya tidak memahami hadits dengan
apa yang tersurat, tetapi memahami lebih jauh dan mendalam.
Sebenarnya
perbedaan pendapat di antara mereka dipicu dari cara memahami nash-nash yang
mereka sepakati keshahihannya, namun tidak mereka sepakati pengertian dan
maksudnya.[1]
1.
Dalil-Dalil
Tentang Hukum Tashwir
Tentang masalah hukum tashwir, hukumnya haram. Berikut
adalah dalil-dalil yang menunjukkan hal ini. Dari Abu Hurairah radhiyallahu
anhu, ia berkata: Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
قَالَ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي
فَلْيَخْلُقُوا بَعُوضَةً أَوْ لِيَخْلُقُوا ذَرَّةً
“Allah
‘Azza wa Jalla berfirman, “Siapakah yang lebih zholim daripada orang yang
berkehendak mencipta seperti ciptaan-Ku. Coba mereka menciptakan lalat atau
semut kecil (jika mereka memang mampu)!” (HR. Bukhari , Muslim dan Ahmad).[2]
Juga dari Abu
Hurairah dalam riwayat lain juga disebutkan antara lain,
قَالَ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِى ،
فَلْيَخْلُقُوا ذَرَّةً ، أَوْ لِيَخْلُقُوا حَبَّةً أَوْ شَعِيرَةً
“Allah
‘Azza wa Jalla berfirman, “Siapakah yang lebih zholim daripada orang yang
mencipta seperti ciptaan-Ku. Coba mereka menciptakan semut kecil, biji atau gandum
(jika mereka memang mampu)!” (HR. Bukhari).[3]
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
إِنَّ
أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
“Sesungguhnya
manusia yang paling keras siksaannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah
tukang penggambar.” (HR. Bukhari dan Muslim). [4]
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إِنَّ
الَّذِينَ يَصْنَعُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ
لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ
“Sesungguhnya mereka yang membuat
gambar-gambar akan disiksa pada hari kiamat. Akan dikatakan kepada mereka,
“Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan.” (HR. Bukhari dan Muslim). [5] Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
صَوَّرَ صُورَةً عُذِّبَ حَتَّى يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ
فِيهَا
“Barangsiapa yang membuat gambar,
ia akan disiksa hingga ia bisa meniupkan ruh pada gambar yang ia buat. Namun
kenyataannya ia tidak bisa meniupnya.” (HR. An Nasai no. 5359 dan Ahmad 1:
216. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini
dibedakan antara gambar hewan (yang memiliki ruh, pen) dan bukan hewan. Hal ini
mengandung pelajaran bahwa boleh saja menggambar pohon dan benda logam di baju
atau kain, dan menggambar yang lain (yang tidak memiliki ruh, pen).” (Majmu’ Al
Fatawa, 29: 370) Dalam hadits berikut juga menunjukkan bahwa jika kepala
dihapus dari gambar, maka gambarnya tidak jadi bermasalah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu dia berkata,
اسْتَأْذَنَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلام عَلَى النَّبِيِّ صلى الله
عليه وسلم فَقَالَ : « ادْخُلْ » . فَقَالَ : « كَيْفَ أَدْخُلُ وَفِي بَيْتِكَ
سِتْرٌ فِيهِ تَصَاوِيرُ فَإِمَّا أَنْ تُقْطَعَ رُؤوسُهَا أَوْ تُجْعَلَ بِسَاطًا
يُوطَأُ فَإِنَّا مَعْشَرَ الْمَلائِكَةِ لا نَدْخُلُ بَيْتًا
فِيهِ تَصَاوِيرُ
“Jibril ‘alaihis salam
meminta izin kepada Nabi maka Nabi bersabda, “Masuklah.” Lalu Jibril menjawab,
“Bagaimana saya mau masuk sementara di dalam rumahmu ada tirai yang bergambar.
Sebaiknya kamu menghilangkan bagian kepala-kepalanya atau kamu menjadikannya
sebagai alas yang dipakai berbaring, karena kami para malaikat tidak masuk
rumah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar.” [6](HR.
An-Nasai) Dalam hadits lain, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda
adalah sebagai berikut:
اَلصُّوْرَةٌ
الرَّأْسُ ، فَإِذَا قُطِعَ فَلاَ صُوْرَةٌ
“Gambar itu adalah kepala, jika
kepalanya dihilangkan maka tidak lagi disebut gambar.” (HR. Al-Baihaqi 7/270. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini
shahih dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 1921)
2.
Dalil
Tentang Lukisan
Marilah kita perhatikan
hadits Sa’id bin Abil Hasan berikut ini.
عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِى الْحَسَنِ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ
عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا عَبَّاسٍ
إِنِّى إِنْسَانٌ ، إِنَّمَا مَعِيشَتِى مِنْ صَنْعَةِ يَدِى ، وَإِنِّى أَصْنَعُ
هَذِهِ التَّصَاوِيرَ . فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لاَ أُحَدِّثُكَ إِلاَّ مَا
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ سَمِعْتُهُ يَقُولُ «
مَنْ صَوَّرَ صُورَةً فَإِنَّ اللَّهَ مُعَذِّبُهُ ، حَتَّى يَنْفُخَ فِيهَا
الرُّوحَ ، وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيهَا أَبَدًا » . فَرَبَا الرَّجُلُ رَبْوَةً
شَدِيدَةً وَاصْفَرَّ وَجْهُهُ . فَقَالَ وَيْحَكَ إِنْ أَبَيْتَ إِلاَّ أَنْ
تَصْنَعَ ، فَعَلَيْكَ بِهَذَا الشَّجَرِ ، كُلِّ شَىْءٍ لَيْسَ فِيهِ رُوحٌ
Dari Sa’id bin Abil Hasan, ia berkata, “Aku dahulu pernah berada di
sisi Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma-. Ketika itu ada seseorang yang
mendatangi beliau lantas ia berkata, “Wahai Abu ‘Abbas, aku adalah manusia.
Penghasilanku berasal dari hasil karya tanganku. Aku biasa membuat gambar
seperti ini.” Ibnu ‘Abbas kemudian berkata, “Tidaklah yang kusampaikan berikut
ini selain dari yang pernah kudengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Aku pernah mendengar beliau bersabda, “Barangsiapa yang membuat
gambar, Allah akan mengazabnya hingga ia bisa meniupkan ruh pada gambar yang ia
buat. Padahal ia tidak bisa meniupkan ruh tersebut selamanya.” Wajah si
pelukis tadi ternyata berubah menjadi kuning. Kata Ibnu ‘Abbas, “Jika engkau
masih tetap ingin melukis, maka gambarlah pohon atau segala sesuatu yang tidak
memiliki ruh.” (HR. Bukhari no. 2225)
Hadits ini
menunjukkan bahwa gambar yang masih dibolehkan untuk dilukis adalah gambar yang
tidak memiliki ruh yaitu selain hewan dan manusia. Hadits Sa’id di atas juga
menunjukkan terlarangnya pekerjaan pelukis yang hasil karyanya dengan melukis
makhluk yang memiliki ruh. Namun jika yang digambar adalah pepohonan, laut,
gunung dan selain gambar yang memiliki ruh, tidaklah masalah. Imam Muhammad bin
Isma’il Al Bukhari rahimahullah membawakan hadits di atas dalam kitab
shahihnya, “Bab jual beli gambar makhluk yang tidak memiliki ruh dan yang
menunjukkan terlarangnya pekerjaan dari gambar yang memiliki ruh.”
B.
Hukum Foto dengan Kamera
Jika kita sudah mengetahui secara jelas hukum gambar makhluk yang
memiliki ruh, sekarang kita beralih pada permasalahan yang lebih kontemporer
yang tidak dapati di masa silam. Mengenai masalah foto dari jepretan kamera,
para ulama ada khilaf (silang pendapat).[7]
Ada yang melarang dan menyatakan haram karena beralasan:
“Hadits yang membicarakan hukum gambar itu umum, baik dengan
melukis dengan tangan atau dengan alat seperti kamera. Lalu ulama yang melarang
membantah ulama yang membolehkan foto kamera dengan menyatakan bahwa alasan
yang dikemukakan hanyalah logika dan tidak bisa membantah sabda Rasulullah Saw.
Mereka juga mengharamkan dengan alasan bahwa foto hasil kamera masih tetap
disebut shuroh (gambar) walaupun dihasilkan dari alat, tetapi tetap sama-sama
disebut demikian.”[8]
Sedangkan ulama lain membolehkan hal ini dengan alasan dalil-dalil
di atas yang telah disebutkan. Sisi pendalilan mereka:
“Foto
dari kamera bukanlah menghasilkan gambar baru yang menyerupai ciptaan Allah.
Gambar yang terlarang adalah jika mengkreasi gambar baru. Namun gambar kamera
adalah gambar ciptaan Allah itu sendiri. Sehingga hal ini tidak termasuk dalam
gambar yang nanti diperintahkan untuk ditiupkan ruhnya. Foto yang dihasilkan
dari kamera ibarat hasil cermin. Para ulama bersepakat akan bolehnya gambar
yang ada di cermin.”
Alasan kedua
ini disampaikan oleh Syaikhuna –Syaikh Sa’ad Asy Syatsri hafizhohullah–,
yang di masa silam beliau menjadi anggota Hay-ah Kibaril ‘Ulama (kumpulan ulama
besar Saudi Arabia).[9]
Pendapat kedua yang membolehkan foto hasil kamera, kami rasa lebih kuat dengan
alasan yang sudah dikemukakan.
1.
Perkataan
Para Ulama Berkenaan dengan Gambar
a.
Imam
al-Hafiz Ibnu Hajar al-Atsqalani mengatakan:
“Kata
al-Khaththabi dan gambar yang
menghalangi masuknya malaikat ke dalam rumah adalah gambar yang padanya
terpenuhi hal-hal yang haram, yakni gambar-gambar berupa makhluk yang bernyawa,
yang tidak terpotong kepalanya atau tidak dihinakan. Dan bahawasanya dosa
tukang gambar itu besar kerana gambar-gambar itu ada yang di-ibadahi selain Allah,
selain itu gambar tersebut mudah menimbulkan fitnah (bahaya) bagi yang
memandangnya (gambar wanita, tokoh, ulama, red).”[10]
b.
Imam
an-Nawawi mengatakan dalam kitabnya, Syarah Sahih Muslim:
“Sahabat
kami dan para Ulama selain mereka mengatakan bahawa haramnya membuat gambar
haiwan adalah sekeras-keras pengharamaan. Ini termasuk dosa besar kerana
ancamannya juga amat besar, sama saja apakah ia dibuat untuk dihinakan atau
tidak. Bahkan membuatnya jelas sekali haram kerana meniru ciptaan Allah. Sama
saja apakah itu dilukis pada pakaian, permadani, mata wang, bejana, dinding
atau lainnya. Adapun menggambar pepohonan dan sesuatu yang tidak bernyawa,
tidak mengapa. Inilah hakikat hukum membuat gambar.
Sedangkan
gambar makhluk bernyawa, jika digantung/ditempal di dinding, di serban dan
tindakan yang tidak termasuk menghinakannya, maka jelas hal itu terlarang.
Sebaliknya bila dibentangkan dan dipijak sebagai alas kaki atau sebagai
sandaran (setelah dipotong kepalanya, ed.) maka tidaklah haram dan tidak ada
bedanya adakah gambar yang tersebut berjasad (mempunyai bayangan atau 3
dimensi) atau tidak. Ini adalah kesimpulan mazhab kami dalam masalah ini yang
semakna dengan perkataan jumhur Ulama dari kalangan para Sahabat, Tabi’in, dan
orang yang sesudah mereka (Tabi’ut Tabi’in). Ini juga pendapat Imam ats-Tsauri,
Malik Bin Anas dan Abu Hanifah serta ulama lainnya.
2.
Pengecualian
Mainan Anak-anak
Namun dalam hal ini dikecualikan patung semacam apa yang sering
dimainkan oleh anak-anak. Tidak mengapa, karena apa yang dimainkan oleh
anak-anak tersebut yang berupa patung-patung, itu tidak diciptakan untuk
menandingi ciptaan Allah atau bahkan mengagung-agungkannya. Disebutkan dalam
hadits yang diriwayatkan Imam Abu Daud dengan sanad yang shohih, bahwa dimasa
awal pernikahan Nabi SAW dengan ‘Aisyah yang ketika itu masih kecil, aisyah
sedang bermain bersama dengan anak perempuan lainnya.
Dan diantara mainan anak-anak tersebut terdapat sebuah (boneka)
patung kuda kecil bersayap yang membuat Rasul SAW bertanya kepada ‘Aisyah : “apa
itu wahai ‘Aisyah?”. Kemudian ‘Aisyah menjawab “ini kuda wahai baginda
Nabi”. Kemudian Nabi bertanya lagi: “apakah kuda mempunyai 2 sayap?”.
‘Aisyah membalas: “apakah kau belum mendengar bahwa Sulaiman mempunyai kuda
yang punya 2 sayap?”. Mendengar jawaban itu Rasul SAW tertawa hingga gigi
grahamnya terlihat.
Al-Baihaqi mengatakan setelah mentakhrij hadis-hadis tersebut:
Telah tsabit (tetap) larangan tentang mengambil gambar. Maka kemungkinan
rukhsah bagi Aisyah terjadi sebelum datangnya pengharaman. Ibnul Jauzi
menetapkan yang demikian juga. Al-Khathabi
berkata: Dalam hadis ini menunjukkan mainan untuk anak-anak perempuan tidaklah
seperti semua gambar yang datang ancaman, hanya saja beliau memberikan
keringanan bagi Aisyah kerana pada waktu itu Aisyah belum dewasa.”
Al-Hafiz berkata: Penetapan dengan dalil ini ada perbincangan, akan
tetapi kemungkinannya adalah kerana Aisyah waktu peristiwa perang Khaibar
berusia 14 tahun dan waktu peristiwa perang Tabuk sudah baligh. Dengan
demikian, ini menguatkan riwayat yang mengatakan hal itu terjadi pada peristiwa
Khaibar dan mengumpulkannya dengan pendapat al-Khathabi. Menurut Sheikh Abdul
Aziz bin Bazz, “Oleh kerana itu, jika hal ini telah difahami, maka
meninggalkan gambar-gambar (boneka) itu adalah lebih selamat kerana padanya ada
perkara yang meragukan. Mungkin penetapan Rasulullah Saw bagi Aisyah itu
sebelum munculnya perintah beliau untuk menghapus gambar-gambar.
Dengan begitu hadis Aisyah ini menjadi mansukh dengan datangnya
larangan dan perintah penghapusan gambar itu, kecuali yang terpotong kepalanya
atau dihinakan, sebagaimana mazhab al-Baihaqi dan Ibnul Jauzi. Dan mungkin juga
ini dikhususkan dari pelarangan itu (sebagaimana pendapat jumhur) untuk
kemaslahatan pendidikan. Ini kerana permainan itu merupakan bentuk penghinaan
atas gambar (boneka). Jadi, dengan kemungkinan ini maka lebih baik untuk
meninggalkannya, sebagaimana pengamalan sabda Rasulullah Saw dari al-Hasan bin
Ali bin Abu Thalib Radiyallahu r.a: ”Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada
yang tidak meragukanmu.”[11]
Demikian juga
dalam hadis berikut ini dari Nu’man bin Basyir Radiyallahu ‘anhu secara marfu’,
“Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat yang kebanyakan manusia tidak
mengetahuinya, maka siapa yang menjaga diri dari syubhat, maka dia telah
membersihkan dien (agama) dan kehormatannya. Dan barang siapa yang jatuh kepada
yang haram, seperti penggembala sedang menggembalakan ternaknya di sekitar
tempat yang di pagar (terlarang), hampir-hampir ia terjatuh padanya.” (Hadis
Riwayat Bukhari dan Muslim)
C.
Fatwa-Fatwa Ulama Masa Ini
1.
Fatwa
Sheikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin:
a.
Hukum
mengenakan pakaian yang mengandungi gambar, seseorang dilarang untuk mengenakan
pakaian yang bergambar haiwan atau manusia, dan mengenakan serban serta jubah
atau yang menyerupai
itu yang di dalamnya terdapat gambar haiwan atau manusia atau makhluk bernyawa
lainnya. Kerana Nabi Saw telah menegaskan
hal itu dengan sabdanya, ”Malaikat enggan memasuki rumah yang di dalamnya
terdapat lukisan.”
Maka dari itu
hendaklah seseorang tidak menyimpan atau memiliki gambar berupa foto-foto yang
oleh sebagian pihak dianggap sebagai album kenangan, maka wajib baginya untuk
menanggalkan foto-foto tersebut, sama ada yang digantungkan di dinding, ataupun
yang disimpan dalam album dan seumpamanya. Kerana keberadaan benda-benda
tersebut menyebabkan malaikat enggan memasuki rumah mereka.[12]
b.
Penjelasan
tentang hukum membuat gambar, baik dengan menggunakan tangan (melukis) atau
dengan alat pembuat gambar (kamera) sama saja, apa hukum menggantung gambar di
atas dinding, dan apa hukum memiliki gambar hanya sekadar dijadikan sebagai
kenangan?
Melukis dengan
tangan adalah perbuatan yang diharamkan, bahkan melukis adalah termasuk salah
satu dosa besar, kerana Nabi Saw melaknat para pembuat gambar (pelukis),
sedangkan laknat tidak akan ditunjukan kecuali terhadap suatu dosa besar, sama
ada yang digambar untuk tujuan mengungkapkan keindahan, atau yang dilukiskan
(dijadikan gambar) sebagai model (bahan bantuan, ed.) bagi para pelajar, atau
untuk hal-hal lainnya, maka hal itu adalah haram.
Tetapi bila
seseorang melukiskan (menjadikan gambar) dari bahagian tubuh, seperti tangan
saja, maka hal itu diperbolehkan. Adapun mengambil gambar dengan menggunakan
alat fotografi, maka hal itu diperbolehkan kerana tidak termasuk pada perbuatan
melukis. Yang menjadi pertanyaan adalah: Apa maksud dari pengambilan gambar
tersebut? Jika pengambilan gambar (pemotretan) itu adalah yang dimaksudkan agar
dimiliki oleh seseorang meskipun hanya dijadikan sebagai kenangan, maka
pengambilan gambar tersebut hukumnya menjadi haram, hal itu dikeranakan segala
macam sarana bergantung dari tujuan untuk apa sarana tersebut dipergunakan, sedangkan
memiliki gambar hukumnya adalah haram. Kerana Nabi Saw telah menjelaskan bahawa
malaikat enggan memasuki rumah yang ada gambar di dalamnya, di mana hal itu
menunjukkan kepada haramnya memiliki dan meletakkan gambar di dalam rumah.
Adapun menggantungkan
gambar atau foto di atas dinding adalah haram hukumnya sehingga tidak
diperbolehkan untuk menggantungnya meskipun sekadar untuk kenangan, kerana
malaikat enggan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar. [13]
c.
Apa
hukum memakaikan baju pada anak-anak yang ada gambar bernyawa?
Ahlul Ilmi
(para ulama) menetapkan hukumnya haram memakaikan pakaian pada anak kecil yang
dikenakan (dipakaikan) oleh orang dewasa. Pakaian yang bergambar hidup haram
dipakai orang dewasa, demikian juga hukumnya tidak boleh dipakaikan untuk
anak-anak. Dan memang demikian hukumnya. Sepatutnya kaum muslimin memboikot
model/fesyen pakaian yang seperti ini agar orang-orang yang berniat jahat dan
rusak tidak menyusup masuk kepada kita melalui sudut-sudut ini. Kalau
benar-benar diboikot maka mereka tidak akan menemukan saluran untuk memasuki ke
negeri kita. (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il, 3/158)
2.
Fatwa
Sheikh Abdul Aziz bin Bazz
a.
Apa
hukum menggantung lukisan di rumah dan tempat-tempat lainnya ? Hukumnya adalah
haram jika gambar tersebut adalah gambar makhluk bernyawa, sama ada manusia
atau selainnya.[14]
b.
Apa
hukumnya menyimpan patung di rumah sekadar untuk hiasan dan bukan untuk
disembah? Seorang muslim tidak diperbolehkan untuk menggantung gambar atau pun
menghiasi rumahnya dengan haiawan yang diawetkan, sama ada diletakkan di atas
meja ataupun kursi, hal itu disebabkan keumuman hadis dari Rasulullah Saw yang
menjelaskan tentang haramnya menggantung gambar dan meletakkan patung di dalam
rumah atau tempat-tempat lainnya. Kerana benda-benda tersebut merupakan sarana
untuk berlaku syirik kepada Allah, dan dalam hal-hal yang demikian terdapat
penyerupaan terhadap makhluk ciptaan Allah dan perbuatan tersebut sama seperti
perbuatan menentang Allah.
Adapun perbuatan menyimpan haiwan yang diawetkan adalah perbuatan
yang merosakkan, padahal syari’at Islam yang sempurna diturunkan untuk
membersihkan segala macam perantara (tawassul) atau sarana yang dapat membawa
kepada kemusyrikan dan kesesatan. Hal yang demikian pernah terjadi pada kaum
Nuh di mana mereka melakukan kemusyrikan disebabkan lukisan yang menggambarkan
lima orang sholeh pada masa mereka. Kaum Nuh memasang/meletakkan lukisan
tersebut di majlis-majlis, sebagaimana yang Allah terangkan
dalam al-Qur’an dengan firman-Nya dalam Surah Nuh: 23-24:
(#qä9$s%ur
w
¨bâxs?
ö/ä3tGygÏ9#uä
wur
¨bâxs?
#tur
wur
%Yæ#uqß
wur
Wqäót
s-qãètur
#Zô£nSur
ÇËÌÈ ôs%ur
(#q=|Êr&
#ZÏWx.
( wur
ÏÌs?
tûüÏHÍ>»©à9$#
wÎ)
Wx»n=|Ê
ÇËÍÈ
“Dan mereka berkata:
"Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan
jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula
suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr[15]".dan
sesudahnya mereka menyesatkan kebanyakan (manusia); dan janganlah Engkau
tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kesesatan.”
Maka, kita harus bersikap berhati-hati terhadap penyerupaan
orang-orang dalam perbuatan mereka yang mungkar yang dapat menjerumuskan kita
kepada kemusyrikan. Dalam sebuah hadis sahih dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, bahawa beliau berkata kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu
‘anhu. “Janganlah engkau tinggalkan patung kecuali engkau telah membuatnya
menjadi tidak berbentuk, dan jangan pula meninggalkan kuburan yang menjulang
tinggi (membukit) kecuali engkau meratakannya.” (Hadis Riwayat Muslim dalam
al-Jana’iz, no. 969) Dalam hadis lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Orang yang paling mendapat siksa pada hari kiamat adalah para
pembuat gambar (pelukis).” Banyak sekali hadis yang menerangkan tentang hal
ini. Semoga Allah memberikan petunjuk.[16]
D.
Fatwa- Fatwa Lainnya
1.
Hukum
mengambil gambar photografi untuk keperluan atau ditayangkan. Mengambil atau
membuat gambar yang berupa dari makhluk bernyawa (samaada manusia atau haiwan)
adalah haram, kecuali bagi tujuan yang amat diperlukan/mendesak, seperti untuk
dokumen kerakyatan, passport, dan pengenalan identiti penjenayah bagi tujuan
menahan (menangkap/memberkas) dan hal-hal tersebut yang mana sememangnya menuntut
keperluan.[17]
2.
Hukumnya
memiliki/membeli majalah yang mana di dalamnya mengandungi gambar. Memiliki/membeli
majalah yang di dalamnya mengandungi gambar adalah dibenarkan jika tujuannya
adalah untuk manfaat dari kandungannya yang di sana mengandungi maklumat
berguna. Dan sewajarnya kepada mereka yang memiliki majalah tersebut hendaklah
menghapuskan gambar-gambar yang terdapat di dalamnya. Walau bagaimanapun jika
tujuan memiliki/membeli majalah tersebut adalah untuk memiliki gambar-gambar
yang terdapat di dalamnya, maka untuk itu adalah tidak dibenarkan. [18]
3.
Memasang foto ulama
Memasang
patung atau gambar yang bernyawa di dalam rumah pernah disinggung dalam Hadits
Bukhori Muslim, bahwa "Orang-orang yang paling hebat siksanya di hari
kiamat adalah orang-orang yang menggambar gambar-gambar (seperti ini)".
Dan ada lagi hadits Bukhori Muslim yang lain. Juga dalam buku Muhammad Isa
Dawud diterangkan, bahwa jin muslim sangat membenci kalau dalam rumah seorang
muslim ada gambar yang bernyawa (foto) dan juga patung walaupun kecil, apalagi
malaikat pasti juga sangat membencinya. Namun kenyataanya sekarang banyak
sekali foto/gambar ulama' dipajang di rumah-rumah.
Kemudian
muncul fatwa dari Syeikh Bin Baz bahwasannya mengagungkan/melukis/menggantung
gambar makhluk bernyawa adalah suatu dosa besar. Begitu juga melukis makhluk
yang bernyawa dan meletakkannya di dinding sebagai hiasan itu adalah hal yang
tidak diperbolehkan dalam ajaran agama, sehingga muncul anggapan bathil dari
para kaum wahabi salafy. Jadi mereka menganggap orang yang memasang
gambar-gambar makhluk hidup di rumahnya akan di anggap musyrik karena dikira
sebagai bentuk penyembahan ataupun mengkultuskan gambar tersebut.
Adakah hukum yang menghalalkan atau
mengharamkan memasang gambar, baik gambar ulama' atau bukan, Menurut Syeh
Muhammad Alwi Al Maliki dalam kitab Majmu' Fatawa wa al Rosail
menjelaskan bahwa yang dimaksud dari gambar yang diharamkan itu adalah yang
tiga dimensi yang memiliki bayang-bayang yang dimungkinkan bisa hidup dalam
kodisi seperti itu bila ditiupkan ruh[19].
مجمعوع فتاوى ورسائل صــ213
وإن كانت هذه صورة الحونية الكاملة التى لاظل لها فها هنا تفصيل وهو أنها إن كانت فى محل ممتهن كبساط وحصير ووسادة ونحوها كاتنت مباحة ايضا فى مذهب الاربعة إلا أن المالكية قالوا فعل هذه خلاف الأولى وليس مكروها.
وإن كانت هذه صورة الحونية الكاملة التى لاظل لها فها هنا تفصيل وهو أنها إن كانت فى محل ممتهن كبساط وحصير ووسادة ونحوها كاتنت مباحة ايضا فى مذهب الاربعة إلا أن المالكية قالوا فعل هذه خلاف الأولى وليس مكروها.
BAB
III
KESIMPULAN
Masalah gambar
(tashwir), baik itu hasil lukisan atau fotografer, makhluk yang memiliki ruh atau tidak, ulama saling
berbeda pendapat dan pengecualian untuk mainan anak.
Ada yang melarang dan menyatakan haram karena beralasan bahwa dalam hadits Rasulullah hukum gambar itu haram, baik dengan lukisan tangan
maupun dengan alat (kamera) sama saja sehingga melarang baik di
hinakan atau tidak karena menimbulkan bahaya bagi yang memandangnya. Dan membantah ulama yang membolehkan foto
kamera dengan menyatakan bahwa alasan yang dikemukakan hanyalah logika dan
tidak bisa membantah sabda Rasulullah Saw. (Menurut Syaikh Sholeh Al Fauzan –hafizhohullah dalam kitab Ad Durun Nadhid
karya Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani dan Imam al-Hafiz Ibnu Hajar al-Atsqalani.
Menurut
Imam an-Nawawi dalam kitabnya, Syarah Sahih Muslim dan pendapat Syeh Muhammad Alwi Al Maliki juga demikian pengharaman keras bagi gambar haiawan (makhluk
bernyawa), hukumnya haram dan dilarang untuk digantung/ ditempel didinding baik
gambar wanita, tokoh, ulama dll.
Ada ulama yang membolehkan dengan alasan foto
dari kamera bukanlah menghasilkan gambar baru yang menyerupai ciptaan Allah.
Gambar yang terlarang adalah jika mengkreasi gambar baru. Namun gambar kamera
adalah gambar ciptaan Allah itu sendiri sebagai ibarat hasil cermin sehingga
tidak termasuk dalam gambar yang nanti diperintahkan untuk ditiupkan ruhnya
seperti yang terdapat dalam hadist. Alasan
kedua oleh Syaikhuna–Syaikh Sa’ad Asy Syatsri hafizhohullah yang membolehkan
foto hasil kamera, apalagi bagi tujuan
yang amat diperlukan/mendesak, seperti untuk dokumen kerakyatan, passport, sebagai
bahan bantu pendidikan dan pengenalan identitas. Yang tidak
boleh apabila memiliki foto, dengan niat mengungkap keindahan yang menimbulkan
bahaya bagi yang memandangnya, sebagai kenangan untuk seseorang, atau untuk
pamer yang dibenarkan jika tujuannya adalah untuk hal yang manfaat dan
berguna. Pendapat
kedua yang membolehkan foto hasil kamera, di rasa lebih kuat dengan alasan yang
sudah dikemukakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen
agama RI. Al-Quran dan tarjamah Al-Aliyy. Bandung: CV Penerbit Diponegoro.
2006.
https://salafiyunpad.wordpress.com/2011/12/29/Risalah-Tentang-Hukum-Mengambil-Gambar-Dengan-Kamera/#more-11572
Majalah Salafy.
Edisi V/Zulhijjah/1416/1996. Judul asli - Fatwa Ulama tentang Hukum Gambar.
oleh Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz bin Baz, mufti Saudi Arabia
Masduqi Machfud, ebook ini di kompilasi oleh "Ashhabur Ro'yi
Press", http://ashhabur-royi.blogspot.com
Rujukan:
Fatwa-Fatwa Sheikh Ibn Utsaimin yang beliau tanda tangani, disalin dari kitab al-Fatawa
asy-Syar’iyyah Fi al-Masa’il al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama al-Balad al-Haram,
Edisi Indonesia “Fatwa-Fatwa Terkini-3”, Penyusun Khalid al-Juraisy, Penerjemah
Amir Hamzah, Penerbit Darul Haq
Rujukan: Ibn
Baz, Kitab Ad-Da’wah, hal. 18-19. Disalin dari buku al-Fatawa
asy-Syar’iyyah fi al-Masa’il al-Ashriyyah min Fatawa Ulama al-Balad al-Haram,
Edisi Indonesia - Fatwa-Fatwa Terkini-3, Terbitan Darul Haq
[2] HR. Bukhari
no. 5953 dan Muslim no. 2111, juga Ahmad 2: 259
[3] HR. Bukhari
no. 7559
[4] HR. Bukhari
no. 5950 dan Muslim no. 2109
[5] HR. Bukhari
no. 5961 dan Muslim no. 5535
[6] HR. An-Nasai
no. 5365. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[7] Dikutip dari https://salafiyunpad.wordpress.com/2011/12/29/Risalah-Tentang-Hukum-Mengambil-Gambar-Dengan-Kamera/#more-11572
[8] Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah guru penulis
sendiri, Syaikh Sholeh Al Fauzan –hafizhohullah-. Kami mendengar langsung
ketika beliau menjelaskan mengenai hukum gambar dari kitab Ad Durun Nadhid
karya Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 18 Muharram 1433 H.
[9]Dikutip dari https://salafiyunpad.wordpress.com/2011/12/29/Risalah-Tentang-Hukum-Mengambil-Gambar-Dengan-Kamera/#more-11572
[10]
Dinukil dari
Majalah Salafy, Edisi V/Zulhijjah/1416/1996. Judul asli - Fatwa Ulama
tentang Hukum Gambar, oleh Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz bin Baz, mufti
Saudi Arabia
[11]
Hadis Riwayat Ahmad, 1/200. Disahihkan oleh Ahmad Syakir dalam
tahqiqnya terhadap Musnad, 3/169. ath-Thayalisi, m.s. 163, no. 1178 dan
al-Albani mensahihkannya dalam Jamius Shaghir, no. 3372 dan 3373
[12] Hadis yang menunjukkan hal itu adalah hadis yang sahih dari Nabi
Saw di rujuk: Ibn Utsaimin, al-Majmu ‘ats-Tsamin, hal. 199.
[13] Rujukan:
Fatwa-Fatwa Sheikh Ibn Utsaimin yang beliau tanda tangani, disalin dari kitab al-Fatawa
asy-Syar’iyyah Fi al-Masa’il al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama al-Balad al-Haram,
Edisi Indonesia “Fatwa-Fatwa Terkini-3”, Penyusun Khalid al-Juraisy,
Penerjemah Amir Hamzah, Penerbit Darul Haq
[14] Rujukan: Ibn
Baz, Kitab ad-Da’wah, hal. 19-20. Disalin dari buku al-Fatawa asy-Syar’iyyah
fi al-Masa’il al-Ashriyyah min Fatawa Ulama al-Balad al-Haram, Edisi
Indonesia - Fatwa-Fatwa Terkini-3, Terbitan Darul Haq
[15]
Wadd, suwwa', yaghuts, ya'uq dan Nasr adalah Nama-nama berhala yang
terbesar pada qabilah-qabilah kaum Nuh.
[16] Rujukan: Ibn
Baz, Kitab Ad-Da’wah, hal. 18-19. Disalin dari buku al-Fatawa asy-Syar’iyyah
fi al-Masa’il al-Ashriyyah min Fatawa Ulama al-Balad al-Haram, Edisi
Indonesia - Fatwa-Fatwa Terkini-3, Terbitan Darul Haq
[17] Fatwa oleh:
Anggota Tetap Penyelidikan Islam & Fatwa yang terdiri daripada, Sheikh
'Abdur-Razzaaq 'Afeefee, Sheikh 'Abdullaah Ibn Ghudayyaan, Sheikh 'Abdullaah
Ibn Munee', dan Majlis Fatwa al-Lajnah ad-Daa’imah lil-Buhooth al-‘Ilmiyyah
wal-Iftaa, Jil. 1, m/s. 660, Persoalan 3 dari fatwa no. 260
[18] Nawawi Bin Subandi Dipetik/diterjemahkan dari http://Fatwa-Online.com/Selasa, ( Mei 06, 2008). dan Fatwa oleh: Anggota Tetap Penyelidikan
Islam & Fatwa yang terdiri daripada, Sheikh Abdul Aziz bin Bazz, Sheikh
'Abdur-Razzaaq Afeefee, Sheikh 'Abdullaah Ibn Ghudayyaan, Sheikh 'Abdullaah Ibn
Munee', dan Majlis Fatwa al-Lajnah ad-Daa’imah lil-Buhooth al-‘Ilmiyyah
wal-Iftaa, Jil. 1, m/s. 691, Persoalan 2 dari fatwa no. 3079
[19] Masduqi Machfud, ebook ini di
kompilasi oleh "Ashhabur Ro'yi Press", http://ashhabur-royi.blogspot.com
Bety suzanah
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah "STIT Bustanul 'Ulum"
Jayasakti Anak Tuha .Lampung Tengah
Subscribe to:
Comments (Atom)
-
MAKALAH KERJASAMA ORANG TUA DAN SEKOLAH DALAM PEMBINAAN ANAK Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah “P...
-
MAKALAH PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA PADA MASA KEPENDUDUKAN JEPANG Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah “Sejarah Pen...
-
MAKALAH PERNIKAHAN YANG TIDAK SAH SECARA SYAR’I Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Fiqih Dosen : Husnul...
