Tuesday, September 24, 2019

HUKUM GAMBAR ( TASHWIR )


MAKALAH
HUKUM GAMBAR ( TASHWIR )
Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Perbandingan Mahzab

Dosen:
Ariarkanuddin, M. S. I

Disusun Oleh :
                                              1.     Rohman Musthofa
                                2.     Bety Suzanah
                3.     Suwarti
( SEMESTER V A )






JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI  PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH BUSTANUL ULUM
LAMPUNG TENGAH
TAHUN 2017
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Hukum Gambar
Masalah gambar (tashwir), baik itu hasil lukisan atau fotografer, ulama saling berbeda pendapat. Ada sebagian ulama yang  mengharamkan semua jenis gambar, baik itu lukisan, kartun, foto atau film. Bagi mereka, apapun yang berbau gambar, lepas dari apa tujuan, madharat, manfaat dan fungsinya, hukumnya haram dan pelakunya masuk neraka. Namun kelompok ulama yang seperti ini berhadapan dengan para ulama lain yang lebih moderat. Mereka tidak menelan mentah-mentah begitu saja hadits-hadit yang terkait dengan haramnya gambar, setidaknya tidak memahami hadits dengan apa yang tersurat, tetapi memahami lebih jauh dan mendalam.
Sebenarnya perbedaan pendapat di antara mereka dipicu dari cara memahami nash-nash yang mereka sepakati keshahihannya, namun tidak mereka sepakati pengertian dan maksudnya.[1]
1.          Dalil-Dalil Tentang Hukum Tashwir
Tentang masalah hukum tashwir, hukumnya haram. Berikut adalah dalil-dalil yang menunjukkan hal ini. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu,  ia berkata: Saya mendengar Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي فَلْيَخْلُقُوا بَعُوضَةً أَوْ لِيَخْلُقُوا ذَرَّةً
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Siapakah yang lebih zholim daripada orang yang berkehendak mencipta seperti ciptaan-Ku. Coba mereka menciptakan lalat atau semut kecil (jika mereka memang mampu)!” (HR. Bukhari , Muslim dan Ahmad).[2]  
Juga dari Abu Hurairah dalam riwayat lain juga disebutkan antara lain,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِى ، فَلْيَخْلُقُوا ذَرَّةً ، أَوْ لِيَخْلُقُوا حَبَّةً أَوْ شَعِيرَةً
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Siapakah yang lebih zholim daripada orang yang mencipta seperti ciptaan-Ku. Coba mereka menciptakan semut kecil, biji atau gandum (jika mereka memang mampu)!” (HR. Bukhari).[3] Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
Sesungguhnya manusia yang paling keras siksaannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah tukang penggambar.” (HR. Bukhari dan Muslim). [4]  Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الَّذِينَ يَصْنَعُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ
Sesungguhnya mereka yang membuat gambar-gambar akan disiksa pada hari kiamat. Akan dikatakan kepada mereka, “Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan.” (HR. Bukhari dan Muslim). [5] Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَوَّرَ صُورَةً عُذِّبَ حَتَّى يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيهَا
Barangsiapa yang membuat gambar, ia akan disiksa hingga ia bisa meniupkan ruh pada gambar yang ia buat. Namun kenyataannya ia tidak bisa meniupnya.” (HR. An Nasai no. 5359 dan Ahmad 1: 216. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini dibedakan antara gambar hewan (yang memiliki ruh, pen) dan bukan hewan. Hal ini mengandung pelajaran bahwa boleh saja menggambar pohon dan benda logam di baju atau kain, dan menggambar yang lain (yang tidak memiliki ruh, pen).” (Majmu’ Al Fatawa, 29: 370) Dalam hadits berikut juga menunjukkan bahwa jika kepala dihapus dari gambar, maka gambarnya tidak jadi bermasalah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata,
اسْتَأْذَنَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلام عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : « ادْخُلْ » . فَقَالَ : « كَيْفَ أَدْخُلُ وَفِي بَيْتِكَ سِتْرٌ فِيهِ تَصَاوِيرُ فَإِمَّا أَنْ تُقْطَعَ رُؤوسُهَا أَوْ تُجْعَلَ بِسَاطًا يُوطَأُ فَإِنَّا مَعْشَرَ الْمَلائِكَةِ لا نَدْخُلُ بَيْتًا
 فِيهِ تَصَاوِيرُ
“Jibril ‘alaihis salam meminta izin kepada Nabi maka Nabi bersabda, “Masuklah.” Lalu Jibril menjawab, “Bagaimana saya mau masuk sementara di dalam rumahmu ada tirai yang bergambar. Sebaiknya kamu menghilangkan bagian kepala-kepalanya atau kamu menjadikannya sebagai alas yang dipakai berbaring, karena kami para malaikat tidak masuk rumah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar.” [6](HR. An-Nasai) Dalam hadits lain, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda adalah sebagai berikut:
اَلصُّوْرَةٌ الرَّأْسُ ، فَإِذَا قُطِعَ فَلاَ صُوْرَةٌ
“Gambar itu adalah kepala, jika kepalanya dihilangkan maka tidak lagi disebut gambar.” (HR. Al-Baihaqi 7/270. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 1921)
2.          Dalil Tentang Lukisan
Marilah  kita perhatikan hadits Sa’id bin Abil Hasan berikut ini.
عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِى الْحَسَنِ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا عَبَّاسٍ إِنِّى إِنْسَانٌ ، إِنَّمَا مَعِيشَتِى مِنْ صَنْعَةِ يَدِى ، وَإِنِّى أَصْنَعُ هَذِهِ التَّصَاوِيرَ . فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لاَ أُحَدِّثُكَ إِلاَّ مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ سَمِعْتُهُ يَقُولُ « مَنْ صَوَّرَ صُورَةً فَإِنَّ اللَّهَ مُعَذِّبُهُ ، حَتَّى يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ ، وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيهَا أَبَدًا » . فَرَبَا الرَّجُلُ رَبْوَةً شَدِيدَةً وَاصْفَرَّ وَجْهُهُ . فَقَالَ وَيْحَكَ إِنْ أَبَيْتَ إِلاَّ أَنْ تَصْنَعَ ، فَعَلَيْكَ بِهَذَا الشَّجَرِ ، كُلِّ شَىْءٍ لَيْسَ فِيهِ رُوحٌ
Dari Sa’id bin Abil Hasan, ia berkata, “Aku dahulu pernah berada di sisi Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma-. Ketika itu ada seseorang yang mendatangi beliau lantas ia berkata, “Wahai Abu ‘Abbas, aku adalah manusia. Penghasilanku berasal dari hasil karya tanganku. Aku biasa membuat gambar seperti ini.” Ibnu ‘Abbas kemudian berkata, “Tidaklah yang kusampaikan berikut ini selain dari yang pernah kudengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pernah mendengar beliau bersabda, “Barangsiapa yang membuat gambar, Allah akan mengazabnya hingga ia bisa meniupkan ruh pada gambar yang ia buat. Padahal ia tidak bisa meniupkan ruh tersebut selamanya.” Wajah si pelukis tadi ternyata berubah menjadi kuning. Kata Ibnu ‘Abbas, “Jika engkau masih tetap ingin melukis, maka gambarlah pohon atau segala sesuatu yang tidak memiliki ruh.” (HR. Bukhari no. 2225)
Hadits ini menunjukkan bahwa gambar yang masih dibolehkan untuk dilukis adalah gambar yang tidak memiliki ruh yaitu selain hewan dan manusia. Hadits Sa’id di atas juga menunjukkan terlarangnya pekerjaan pelukis yang hasil karyanya dengan melukis makhluk yang memiliki ruh. Namun jika yang digambar adalah pepohonan, laut, gunung dan selain gambar yang memiliki ruh, tidaklah masalah. Imam Muhammad bin Isma’il Al Bukhari rahimahullah membawakan hadits di atas dalam kitab shahihnya, “Bab jual beli gambar makhluk yang tidak memiliki ruh dan yang menunjukkan terlarangnya pekerjaan dari gambar yang memiliki ruh.”
B.       Hukum Foto dengan Kamera
Jika kita sudah mengetahui secara jelas hukum gambar makhluk yang memiliki ruh, sekarang kita beralih pada permasalahan yang lebih kontemporer yang tidak dapati di masa silam. Mengenai masalah foto dari jepretan kamera, para ulama ada khilaf (silang pendapat).[7] Ada yang melarang dan menyatakan haram karena beralasan:
Hadits yang membicarakan hukum gambar itu umum, baik dengan melukis dengan tangan atau dengan alat seperti kamera. Lalu ulama yang melarang membantah ulama yang membolehkan foto kamera dengan menyatakan bahwa alasan yang dikemukakan hanyalah logika dan tidak bisa membantah sabda Rasulullah Saw. Mereka juga mengharamkan dengan alasan bahwa foto hasil kamera masih tetap disebut shuroh (gambar) walaupun dihasilkan dari alat, tetapi tetap sama-sama disebut demikian.[8]
Sedangkan ulama lain membolehkan hal ini dengan alasan dalil-dalil di atas yang telah disebutkan. Sisi pendalilan mereka:
“Foto dari kamera bukanlah menghasilkan gambar baru yang menyerupai ciptaan Allah. Gambar yang terlarang adalah jika mengkreasi gambar baru. Namun gambar kamera adalah gambar ciptaan Allah itu sendiri. Sehingga hal ini tidak termasuk dalam gambar yang nanti diperintahkan untuk ditiupkan ruhnya. Foto yang dihasilkan dari kamera ibarat hasil cermin. Para ulama bersepakat akan bolehnya gambar yang ada di cermin.”
Alasan kedua ini disampaikan oleh Syaikhuna –Syaikh Sa’ad Asy Syatsri hafizhohullah–, yang di masa silam beliau menjadi anggota Hay-ah Kibaril ‘Ulama (kumpulan ulama besar Saudi Arabia).[9] Pendapat kedua yang membolehkan foto hasil kamera, kami rasa lebih kuat dengan alasan yang sudah dikemukakan.
1.        Perkataan Para Ulama Berkenaan dengan Gambar
a.         Imam al-Hafiz Ibnu Hajar al-Atsqalani mengatakan:
“Kata al-Khaththabi  dan gambar yang menghalangi masuknya malaikat ke dalam rumah adalah gambar yang padanya terpenuhi hal-hal yang haram, yakni gambar-gambar berupa makhluk yang bernyawa, yang tidak terpotong kepalanya atau tidak dihinakan. Dan bahawasanya dosa tukang gambar itu besar kerana gambar-gambar itu ada yang di-ibadahi selain Allah, selain itu gambar tersebut mudah menimbulkan fitnah (bahaya) bagi yang memandangnya (gambar wanita, tokoh, ulama, red).”[10]
b.        Imam an-Nawawi mengatakan dalam kitabnya, Syarah Sahih Muslim:
“Sahabat kami dan para Ulama selain mereka mengatakan bahawa haramnya membuat gambar haiwan adalah sekeras-keras pengharamaan. Ini termasuk dosa besar kerana ancamannya juga amat besar, sama saja apakah ia dibuat untuk dihinakan atau tidak. Bahkan membuatnya jelas sekali haram kerana meniru ciptaan Allah. Sama saja apakah itu dilukis pada pakaian, permadani, mata wang, bejana, dinding atau lainnya. Adapun menggambar pepohonan dan sesuatu yang tidak bernyawa, tidak mengapa. Inilah hakikat hukum membuat gambar.
Sedangkan gambar makhluk bernyawa, jika digantung/ditempal di dinding, di serban dan tindakan yang tidak termasuk menghinakannya, maka jelas hal itu terlarang. Sebaliknya bila dibentangkan dan dipijak sebagai alas kaki atau sebagai sandaran (setelah dipotong kepalanya, ed.) maka tidaklah haram dan tidak ada bedanya adakah gambar yang tersebut berjasad (mempunyai bayangan atau 3 dimensi) atau tidak. Ini adalah kesimpulan mazhab kami dalam masalah ini yang semakna dengan perkataan jumhur Ulama dari kalangan para Sahabat, Tabi’in, dan orang yang sesudah mereka (Tabi’ut Tabi’in). Ini juga pendapat Imam ats-Tsauri, Malik Bin Anas dan Abu Hanifah serta ulama lainnya.
2.        Pengecualian Mainan Anak-anak
Namun dalam hal ini dikecualikan patung semacam apa yang sering dimainkan oleh anak-anak. Tidak mengapa, karena apa yang dimainkan oleh anak-anak tersebut yang berupa patung-patung, itu tidak diciptakan untuk menandingi ciptaan Allah atau bahkan mengagung-agungkannya. Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Imam Abu Daud dengan sanad yang shohih, bahwa dimasa awal pernikahan Nabi SAW dengan ‘Aisyah yang ketika itu masih kecil, aisyah sedang bermain bersama dengan anak perempuan lainnya.
Dan diantara mainan anak-anak tersebut terdapat sebuah (boneka) patung kuda kecil bersayap yang membuat Rasul SAW bertanya kepada ‘Aisyah : “apa itu wahai ‘Aisyah?”. Kemudian ‘Aisyah menjawab “ini kuda wahai baginda Nabi”. Kemudian Nabi bertanya lagi: “apakah kuda mempunyai 2 sayap?”. ‘Aisyah membalas: “apakah kau belum mendengar bahwa Sulaiman mempunyai kuda yang punya 2 sayap?”. Mendengar jawaban itu Rasul SAW tertawa hingga gigi grahamnya terlihat.
Al-Baihaqi mengatakan setelah mentakhrij hadis-hadis tersebut: Telah tsabit (tetap) larangan tentang mengambil gambar. Maka kemungkinan rukhsah bagi Aisyah terjadi sebelum datangnya pengharaman. Ibnul Jauzi menetapkan yang demikian juga.  Al-Khathabi berkata: Dalam hadis ini menunjukkan mainan untuk anak-anak perempuan tidaklah seperti semua gambar yang datang ancaman, hanya saja beliau memberikan keringanan bagi Aisyah kerana pada waktu itu Aisyah belum dewasa.”
Al-Hafiz berkata: Penetapan dengan dalil ini ada perbincangan, akan tetapi kemungkinannya adalah kerana Aisyah waktu peristiwa perang Khaibar berusia 14 tahun dan waktu peristiwa perang Tabuk sudah baligh. Dengan demikian, ini menguatkan riwayat yang mengatakan hal itu terjadi pada peristiwa Khaibar dan mengumpulkannya dengan pendapat al-Khathabi. Menurut Sheikh Abdul Aziz bin Bazz, “Oleh kerana itu, jika hal ini telah difahami, maka meninggalkan gambar-gambar (boneka) itu adalah lebih selamat kerana padanya ada perkara yang meragukan. Mungkin penetapan Rasulullah Saw bagi Aisyah itu sebelum munculnya perintah beliau untuk menghapus gambar-gambar.
Dengan begitu hadis Aisyah ini menjadi mansukh dengan datangnya larangan dan perintah penghapusan gambar itu, kecuali yang terpotong kepalanya atau dihinakan, sebagaimana mazhab al-Baihaqi dan Ibnul Jauzi. Dan mungkin juga ini dikhususkan dari pelarangan itu (sebagaimana pendapat jumhur) untuk kemaslahatan pendidikan. Ini kerana permainan itu merupakan bentuk penghinaan atas gambar (boneka). Jadi, dengan kemungkinan ini maka lebih baik untuk meninggalkannya, sebagaimana pengamalan sabda Rasulullah Saw dari al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib Radiyallahu r.a: ”Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu.”[11]
Demikian juga dalam hadis berikut ini dari Nu’man bin Basyir Radiyallahu ‘anhu secara marfu’, “Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, maka siapa yang menjaga diri dari syubhat, maka dia telah membersihkan dien (agama) dan kehormatannya. Dan barang siapa yang jatuh kepada yang haram, seperti penggembala sedang menggembalakan ternaknya di sekitar tempat yang di pagar (terlarang), hampir-hampir ia terjatuh padanya.” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)
C.      Fatwa-Fatwa Ulama Masa Ini
1.     Fatwa Sheikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin:  
a.         Hukum mengenakan pakaian yang mengandungi gambar, seseorang dilarang untuk mengenakan pakaian yang bergambar haiwan atau manusia, dan mengenakan serban serta jubah atau yang  menyerupai itu yang di dalamnya terdapat gambar haiwan atau manusia atau makhluk bernyawa lainnya. Kerana Nabi Saw  telah menegaskan hal itu dengan sabdanya, ”Malaikat enggan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat lukisan.”
Maka dari itu hendaklah seseorang tidak menyimpan atau memiliki gambar berupa foto-foto yang oleh sebagian pihak dianggap sebagai album kenangan, maka wajib baginya untuk menanggalkan foto-foto tersebut, sama ada yang digantungkan di dinding, ataupun yang disimpan dalam album dan seumpamanya. Kerana keberadaan benda-benda tersebut menyebabkan malaikat enggan memasuki rumah mereka.[12]
b.        Penjelasan tentang hukum membuat gambar, baik dengan menggunakan tangan (melukis) atau dengan alat pembuat gambar (kamera) sama saja, apa hukum menggantung gambar di atas dinding, dan apa hukum memiliki gambar hanya sekadar dijadikan sebagai kenangan?
Melukis dengan tangan adalah perbuatan yang diharamkan, bahkan melukis adalah termasuk salah satu dosa besar, kerana Nabi Saw melaknat para pembuat gambar (pelukis), sedangkan laknat tidak akan ditunjukan kecuali terhadap suatu dosa besar, sama ada yang digambar untuk tujuan mengungkapkan keindahan, atau yang dilukiskan (dijadikan gambar) sebagai model (bahan bantuan, ed.) bagi para pelajar, atau untuk hal-hal lainnya, maka hal itu adalah haram.
Tetapi bila seseorang melukiskan (menjadikan gambar) dari bahagian tubuh, seperti tangan saja, maka hal itu diperbolehkan. Adapun mengambil gambar dengan menggunakan alat fotografi, maka hal itu diperbolehkan kerana tidak termasuk pada perbuatan melukis. Yang menjadi pertanyaan adalah: Apa maksud dari pengambilan gambar tersebut? Jika pengambilan gambar (pemotretan) itu adalah yang dimaksudkan agar dimiliki oleh seseorang meskipun hanya dijadikan sebagai kenangan, maka pengambilan gambar tersebut hukumnya menjadi haram, hal itu dikeranakan segala macam sarana bergantung dari tujuan untuk apa sarana tersebut dipergunakan, sedangkan memiliki gambar hukumnya adalah haram. Kerana Nabi Saw telah menjelaskan bahawa malaikat enggan memasuki rumah yang ada gambar di dalamnya, di mana hal itu menunjukkan kepada haramnya memiliki dan meletakkan gambar di dalam rumah.
Adapun menggantungkan gambar atau foto di atas dinding adalah haram hukumnya sehingga tidak diperbolehkan untuk menggantungnya meskipun sekadar untuk kenangan, kerana malaikat enggan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar. [13]
c.       Apa hukum memakaikan baju pada anak-anak yang ada gambar bernyawa?
Ahlul Ilmi (para ulama) menetapkan hukumnya haram memakaikan pakaian pada anak kecil yang dikenakan (dipakaikan) oleh orang dewasa. Pakaian yang bergambar hidup haram dipakai orang dewasa, demikian juga hukumnya tidak boleh dipakaikan untuk anak-anak. Dan memang demikian hukumnya. Sepatutnya kaum muslimin memboikot model/fesyen pakaian yang seperti ini agar orang-orang yang berniat jahat dan rusak tidak menyusup masuk kepada kita melalui sudut-sudut ini. Kalau benar-benar diboikot maka mereka tidak akan menemukan saluran untuk memasuki ke negeri kita. (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il, 3/158)
2.          Fatwa Sheikh Abdul Aziz bin Bazz
a.       Apa hukum menggantung lukisan di rumah dan tempat-tempat lainnya ? Hukumnya adalah haram jika gambar tersebut adalah gambar makhluk bernyawa, sama ada manusia atau selainnya.[14]  
b.      Apa hukumnya menyimpan patung di rumah sekadar untuk hiasan dan bukan untuk disembah? Seorang muslim tidak diperbolehkan untuk menggantung gambar atau pun menghiasi rumahnya dengan haiawan yang diawetkan, sama ada diletakkan di atas meja ataupun kursi, hal itu disebabkan keumuman hadis dari Rasulullah Saw yang menjelaskan tentang haramnya menggantung gambar dan meletakkan patung di dalam rumah atau tempat-tempat lainnya. Kerana benda-benda tersebut merupakan sarana untuk berlaku syirik kepada Allah, dan dalam hal-hal yang demikian terdapat penyerupaan terhadap makhluk ciptaan Allah dan perbuatan tersebut sama seperti perbuatan menentang Allah.

Adapun perbuatan menyimpan haiwan yang diawetkan adalah perbuatan yang merosakkan, padahal syari’at Islam yang sempurna diturunkan untuk membersihkan segala macam perantara (tawassul) atau sarana yang dapat membawa kepada kemusyrikan dan kesesatan. Hal yang demikian pernah terjadi pada kaum Nuh di mana mereka melakukan kemusyrikan disebabkan lukisan yang menggambarkan lima orang sholeh pada masa mereka. Kaum Nuh memasang/meletakkan lukisan tersebut di majlis-majlis, sebagaimana yang Allah terangkan dalam al-Qur’an dengan firman-Nya dalam Surah Nuh: 23-24:
(#qä9$s%ur Ÿw ¨bâxs? ö/ä3tGygÏ9#uä Ÿwur ¨bâxs? #tŠur Ÿwur %Yæ#uqß Ÿwur šWqäótƒ s-qãètƒur #ZŽô£nSur ÇËÌÈ   ôs%ur (#q=|Êr& #ZŽÏWx. ( Ÿwur ÏŠÌs? tûüÏHÍ>»©à9$# žwÎ) Wx»n=|Ê ÇËÍÈ  
“Dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr[15]".dan sesudahnya mereka menyesatkan kebanyakan (manusia); dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kesesatan.”
Maka, kita harus bersikap berhati-hati terhadap penyerupaan orang-orang dalam perbuatan mereka yang mungkar yang dapat menjerumuskan kita kepada kemusyrikan. Dalam sebuah hadis sahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahawa beliau berkata kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. “Janganlah engkau tinggalkan patung kecuali engkau telah membuatnya menjadi tidak berbentuk, dan jangan pula meninggalkan kuburan yang menjulang tinggi (membukit) kecuali engkau meratakannya.” (Hadis Riwayat Muslim dalam al-Jana’iz, no. 969) Dalam hadis lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling mendapat siksa pada hari kiamat adalah para pembuat gambar (pelukis).” Banyak sekali hadis yang menerangkan tentang hal ini. Semoga Allah memberikan petunjuk.[16]

D.      Fatwa- Fatwa Lainnya
1.          Hukum mengambil gambar photografi untuk keperluan atau ditayangkan. Mengambil atau membuat gambar yang berupa dari makhluk bernyawa (samaada manusia atau haiwan) adalah haram, kecuali bagi tujuan yang amat diperlukan/mendesak, seperti untuk dokumen kerakyatan, passport, dan pengenalan identiti penjenayah bagi tujuan menahan (menangkap/memberkas) dan hal-hal  tersebut yang mana sememangnya menuntut keperluan.[17]
2.          Hukumnya memiliki/membeli majalah yang mana di dalamnya mengandungi gambar. Memiliki/membeli majalah yang di dalamnya mengandungi gambar adalah dibenarkan jika tujuannya adalah untuk manfaat dari kandungannya yang di sana mengandungi maklumat berguna. Dan sewajarnya kepada mereka yang memiliki majalah tersebut hendaklah menghapuskan gambar-gambar yang terdapat di dalamnya. Walau bagaimanapun jika tujuan memiliki/membeli majalah tersebut adalah untuk memiliki gambar-gambar yang terdapat di dalamnya, maka untuk itu adalah tidak dibenarkan. [18]
3.          Memasang foto ulama
Memasang patung atau gambar yang bernyawa di dalam rumah pernah disinggung dalam Hadits Bukhori Muslim, bahwa "Orang-orang yang paling hebat siksanya di hari kiamat adalah orang-orang yang menggambar gambar-gambar (seperti ini)". Dan ada lagi hadits Bukhori Muslim yang lain. Juga dalam buku Muhammad Isa Dawud diterangkan, bahwa jin muslim sangat membenci kalau dalam rumah seorang muslim ada gambar yang bernyawa (foto) dan juga patung walaupun kecil, apalagi malaikat pasti juga sangat membencinya. Namun kenyataanya sekarang banyak sekali foto/gambar ulama' dipajang di rumah-rumah.
Kemudian muncul fatwa dari Syeikh Bin Baz bahwasannya mengagungkan/melukis/menggantung gambar makhluk bernyawa adalah suatu dosa besar. Begitu juga melukis makhluk yang bernyawa dan meletakkannya di dinding sebagai hiasan itu adalah hal yang tidak diperbolehkan dalam ajaran agama, sehingga muncul anggapan bathil dari para kaum wahabi salafy. Jadi mereka menganggap orang yang memasang gambar-gambar makhluk hidup di rumahnya akan di anggap musyrik karena dikira sebagai bentuk penyembahan ataupun mengkultuskan gambar tersebut.
Adakah hukum yang menghalalkan atau mengharamkan memasang gambar, baik gambar ulama' atau bukan, Menurut Syeh Muhammad Alwi Al Maliki dalam kitab Majmu' Fatawa wa al Rosail menjelaskan bahwa yang dimaksud dari gambar yang diharamkan itu adalah yang tiga dimensi yang memiliki bayang-bayang yang dimungkinkan bisa hidup dalam kodisi seperti itu bila ditiupkan ruh[19].
مجمعوع فتاوى ورسائل صــ213
وإن كانت هذه صورة الحونية الكاملة التى لاظل لها فها هنا تفصيل وهو أنها إن كانت فى محل ممتهن كبساط وحصير ووسادة ونحوها كاتنت مباحة ايضا فى مذهب الاربعة إلا أن المالكية قالوا فعل هذه خلاف الأولى وليس مكروها.




BAB III
KESIMPULAN
Masalah gambar (tashwir), baik itu hasil lukisan atau fotografer, makhluk yang memiliki ruh atau tidak, ulama saling berbeda pendapat dan pengecualian untuk mainan anak. Ada yang melarang dan menyatakan haram karena beralasan bahwa dalam hadits Rasulullah hukum gambar itu haram, baik dengan lukisan tangan maupun dengan alat (kamera) sama saja sehingga melarang baik di hinakan atau tidak karena menimbulkan bahaya bagi yang memandangnya. Dan membantah ulama yang membolehkan foto kamera dengan menyatakan bahwa alasan yang dikemukakan hanyalah logika dan tidak bisa membantah sabda Rasulullah Saw. (Menurut Syaikh Sholeh Al Fauzan –hafizhohullah dalam kitab Ad Durun Nadhid karya Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani dan Imam al-Hafiz Ibnu Hajar al-Atsqalani. Menurut Imam an-Nawawi dalam kitabnya, Syarah Sahih Muslim dan pendapat Syeh Muhammad Alwi Al Maliki juga demikian pengharaman keras bagi gambar haiawan (makhluk bernyawa), hukumnya haram dan dilarang untuk digantung/ ditempel didinding baik gambar wanita, tokoh, ulama dll.
Ada ulama yang membolehkan dengan alasan foto dari kamera bukanlah menghasilkan gambar baru yang menyerupai ciptaan Allah. Gambar yang terlarang adalah jika mengkreasi gambar baru. Namun gambar kamera adalah gambar ciptaan Allah itu sendiri sebagai ibarat hasil cermin sehingga tidak termasuk dalam gambar yang nanti diperintahkan untuk ditiupkan ruhnya seperti yang terdapat dalam hadist. Alasan kedua oleh Syaikhuna–Syaikh Sa’ad Asy Syatsri hafizhohullah yang membolehkan foto hasil kamera, apalagi bagi tujuan yang amat diperlukan/mendesak, seperti untuk dokumen kerakyatan, passport, sebagai bahan bantu pendidikan dan pengenalan identitas. Yang tidak boleh apabila memiliki foto, dengan niat mengungkap keindahan yang menimbulkan bahaya bagi yang memandangnya, sebagai kenangan untuk seseorang, atau untuk pamer yang dibenarkan jika tujuannya adalah untuk hal yang manfaat dan berguna.  Pendapat kedua yang membolehkan foto hasil kamera, di rasa lebih kuat dengan alasan yang sudah dikemukakan.
DAFTAR PUSTAKA
            Departemen agama RI. Al-Quran dan tarjamah Al-Aliyy. Bandung: CV Penerbit Diponegoro. 2006.
https://salafiyunpad.wordpress.com/2011/12/29/Risalah-Tentang-Hukum-Mengambil-Gambar-Dengan-Kamera/#more-11572
Majalah Salafy. Edisi V/Zulhijjah/1416/1996. Judul asli - Fatwa Ulama tentang Hukum Gambar. oleh Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz bin Baz, mufti Saudi Arabia
Masduqi Machfud,  ebook  ini di kompilasi oleh "Ashhabur Ro'yi Press",  http://ashhabur-royi.blogspot.com
Rujukan: Fatwa-Fatwa Sheikh Ibn Utsaimin yang beliau tanda tangani, disalin dari kitab al-Fatawa asy-Syar’iyyah Fi al-Masa’il al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama al-Balad al-Haram, Edisi Indonesia “Fatwa-Fatwa Terkini-3”, Penyusun Khalid al-Juraisy, Penerjemah Amir Hamzah, Penerbit Darul Haq
Rujukan: Ibn Baz, Kitab Ad-Da’wah, hal. 18-19. Disalin dari buku al-Fatawa asy-Syar’iyyah fi al-Masa’il al-Ashriyyah min Fatawa Ulama al-Balad al-Haram, Edisi Indonesia - Fatwa-Fatwa Terkini-3, Terbitan Darul Haq



[2] HR. Bukhari no. 5953 dan Muslim no. 2111, juga Ahmad 2: 259
[3] HR. Bukhari no. 7559
[4] HR. Bukhari no. 5950 dan Muslim no. 2109
[5] HR. Bukhari no. 5961 dan Muslim no. 5535
[6] HR. An-Nasai no. 5365. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[7] Dikutip dari https://salafiyunpad.wordpress.com/2011/12/29/Risalah-Tentang-Hukum-Mengambil-Gambar-Dengan-Kamera/#more-11572
[8] Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah guru penulis sendiri, Syaikh Sholeh Al Fauzan –hafizhohullah-. Kami mendengar langsung ketika beliau menjelaskan mengenai hukum gambar dari kitab Ad Durun Nadhid karya Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 18 Muharram 1433 H.

[9]Dikutip dari https://salafiyunpad.wordpress.com/2011/12/29/Risalah-Tentang-Hukum-Mengambil-Gambar-Dengan-Kamera/#more-11572
[10] Dinukil dari Majalah Salafy, Edisi V/Zulhijjah/1416/1996. Judul asli - Fatwa Ulama tentang Hukum Gambar, oleh Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz bin Baz, mufti Saudi Arabia
[11] Hadis Riwayat Ahmad, 1/200. Disahihkan oleh Ahmad Syakir dalam tahqiqnya terhadap Musnad, 3/169. ath-Thayalisi, m.s. 163, no. 1178 dan al-Albani mensahihkannya dalam Jamius Shaghir, no. 3372 dan 3373

[12] Hadis yang menunjukkan hal itu adalah hadis yang sahih dari Nabi Saw di rujuk: Ibn Utsaimin, al-Majmu ‘ats-Tsamin, hal. 199. 

[13] Rujukan: Fatwa-Fatwa Sheikh Ibn Utsaimin yang beliau tanda tangani, disalin dari kitab al-Fatawa asy-Syar’iyyah Fi al-Masa’il al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama al-Balad al-Haram, Edisi Indonesia “Fatwa-Fatwa Terkini-3”, Penyusun Khalid al-Juraisy, Penerjemah Amir Hamzah, Penerbit Darul Haq
[14] Rujukan: Ibn Baz, Kitab ad-Da’wah, hal. 19-20. Disalin dari buku al-Fatawa asy-Syar’iyyah fi al-Masa’il al-Ashriyyah min Fatawa Ulama al-Balad al-Haram, Edisi Indonesia - Fatwa-Fatwa Terkini-3, Terbitan Darul Haq
[15] Wadd, suwwa', yaghuts, ya'uq dan Nasr adalah Nama-nama berhala yang terbesar pada qabilah-qabilah kaum Nuh.
[16] Rujukan: Ibn Baz, Kitab Ad-Da’wah, hal. 18-19. Disalin dari buku al-Fatawa asy-Syar’iyyah fi al-Masa’il al-Ashriyyah min Fatawa Ulama al-Balad al-Haram, Edisi Indonesia - Fatwa-Fatwa Terkini-3, Terbitan Darul Haq
[17] Fatwa oleh: Anggota Tetap Penyelidikan Islam & Fatwa yang terdiri daripada, Sheikh 'Abdur-Razzaaq 'Afeefee, Sheikh 'Abdullaah Ibn Ghudayyaan, Sheikh 'Abdullaah Ibn Munee', dan Majlis Fatwa al-Lajnah ad-Daa’imah lil-Buhooth al-‘Ilmiyyah wal-Iftaa, Jil. 1, m/s. 660, Persoalan 3 dari fatwa no. 260
[18] Nawawi Bin Subandi Dipetik/diterjemahkan dari http://Fatwa-Online.com/Selasa, ( Mei 06, 2008).  dan Fatwa oleh: Anggota Tetap Penyelidikan Islam & Fatwa yang terdiri daripada, Sheikh Abdul Aziz bin Bazz, Sheikh 'Abdur-Razzaaq Afeefee, Sheikh 'Abdullaah Ibn Ghudayyaan, Sheikh 'Abdullaah Ibn Munee', dan Majlis Fatwa al-Lajnah ad-Daa’imah lil-Buhooth al-‘Ilmiyyah wal-Iftaa, Jil. 1, m/s. 691, Persoalan 2 dari fatwa no. 3079
[19]  Masduqi Machfud,  ebook ini di kompilasi oleh "Ashhabur Ro'yi Press",  http://ashhabur-royi.blogspot.com


No comments:

Post a Comment

TUGAS KEWIRAUSAHAAN